Inklusi Itu Aksi, Bukan Simpati: Menghapus Label, Membangun Empati

Oleh Ranti Novianti
Dosen Pendidikan Khusus, Universitas Negeri Malang
Kontak: ranti.novianti@um.ac.id

“Anak itu kayaknya ABK ya? Kasihan.”
“Dia kan punya kebutuhan khusus, jangan diajak lomba.”
“Sudah tahu dia itu ‘spesial’, kenapa masih disekolahkan bareng anak lain?”

Kalimat-kalimat seperti ini, mungkin terdengar ‘biasa’ di telinga banyak orang. Tapi tahukah kita, bahwa di balik kata “kasihan” dan “spesial” itu, tersimpan stigma yang mengekang?

Label yang Tak Perlu: Dari Niat Baik Jadi Bumerang

Istilah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) awalnya dimaksudkan sebagai istilah edukatif. Ia bukan vonis, bukan stigma. Tujuannya semata untuk menegaskan bahwa ada anak-anak yang membutuhkan pendekatan belajar berbeda, bukan karena mereka ‘kurang’, melainkan karena sistem kita belum siap menjangkau semua keragaman.

Namun dalam praktiknya, istilah ini sering berubah menjadi label. Alih-alih membuka ruang, ia justru menjadi pagar pembatas. Banyak anak yang akhirnya tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan potensi hanya karena mereka terlanjur dicap sebagai ‘berbeda’.

Padahal, secara internasional, pergeseran istilah sudah lama terjadi. Dari disabled menjadi persons with disabilities, lalu berkembang menjadi differently abled atau bahkan children with special educational needs (SEN). Pergeseran ini bukan semata permainan kata, tapi perubahan cara pandang: dari menyoroti kekurangan, menjadi mengakui keunikan dan kekuatan.

Dari UNESCO hingga Konstitusi Kita

UNESCO dan PBB melalui Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) menekankan pentingnya sistem pendidikan inklusif. Inklusi berarti semua anak, tanpa kecuali, belajar bersama dalam satu sistem pendidikan yang menghormati dan menyesuaikan dengan keragaman.

Sementara Indonesia sendiri sudah menegaskan semangat ini sejak awal: “Bhinneka Tunggal Ika.” Berbeda-beda tetapi tetap satu. Sayangnya, semboyan ini kadang hanya jadi hafalan di sekolah, bukan praktik di lapangan.

Inklusi bukan sekadar menerima ABK di sekolah umum. Ia menuntut perubahan sistem, pelatihan guru, kurikulum yang adaptif, dan—yang paling penting perubahan cara pandang masyarakat.

Intoleransi Baru: Ketika Keragaman Diseragamkan

Hari ini, kita hidup dalam zaman yang disebut canggih. Tapi di balik kemajuan teknologi dan media sosial, kita menemukan bentuk baru intoleransi. Anak yang lambat bicara diledek. Anak dengan ekspresi berbeda dianggap aneh. Anak yang membaca lebih pelan langsung dicap bodoh.

Inilah bentuk body shaming dan mind shaming yang sering tak kita sadari. Padahal, menurut dokumen internasional seperti Salamanca Statement (UNESCO, 1994), setiap anak adalah individu yang unik dan memiliki gaya belajar yang berbeda. Pendidikan harus bertransformasi menyesuaikan kebutuhan mereka, bukan sebaliknya.

Lalu, Mengapa Masih Ada Stigma?

Masalah utama bukan pada anak-anaknya. Mereka tumbuh, berjuang, dan belajar seperti anak lainnya. Masalah terbesar ada pada persepsi masyarakat. Kita terbiasa melihat “perbedaan” sebagai kekurangan. Kita belum cukup terlatih untuk memandang keanekaragaman sebagai kekuatan.

Kita tidak kekurangan regulasi atau program. Yang kita butuhkan adalah revolusi cara berpikir.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Bagi Anda yang merupakan orang tua, mulailah dari hal kecil yang berdampak besar. Ajaklah anak-anak Anda bermain bersama anak-anak dengan disabilitas, bukan dengan rasa kasihan atau ragu, tapi dengan rasa setara dan tulus. Biarkan mereka tumbuh tanpa sekat prasangka. Anak-anak yang tumbuh dalam ruang inklusif akan lebih mudah menjadi manusia yang adil dan empatik.

Jika Anda seorang guru, belajarlah membuka ruang-ruang belajar yang lebih adaptif. Pendidikan bukan tentang menyamakan semuanya, tapi tentang merespons kebutuhan tiap anak secara adil. Strategi pembelajaran diferensiatif dan responsif bukanlah pilihan, melainkan keharusan di ruang kelas yang majemuk.

Untuk Anda para pembuat kebijakan, dengarkanlah suara yang selama ini tersembunyi. Ketika merancang aturan dan anggaran, pastikan mereka yang berbeda turut memiliki ruang bersuara. Disabilitas bukan soal belas kasihan, tapi tentang akses yang setara dan hak yang diakui.

Dan bagi kita semua, masyarakat umum, mulailah dengan menghapus label. Jangan biarkan kata-kata seperti “cacat”, “tidak normal”, atau “kasihan” menjadi identitas utama seseorang. Lihatlah manusia di balik label. Hormati mereka karena kemampuan, bukan dikerdilkan oleh keterbatasan.

Semua Anak Bisa Belajar

Kita tidak sedang bicara belas kasih. Kita sedang bicara keadilan. Kita sedang memperjuangkan masa depan di mana setiap anak dihargai karena dirinya sendiri, bukan karena kategori yang dilekatkan padanya.

Kini saatnya kita melepas kacamata bias dan memakai lensa inklusi. Karena semua anak bisa belajar, asal kita bersedia belajar lebih dulu, belajar untuk memahami, menerima, dan memperjuangkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *