Oleh Ranti Novianti
Dosen Pendidikan Khusus, Universitas Negeri Malang
Kontak: ranti.novianti@um.ac.id
Banyak guru dan orang tua masih sering bertanya: “Apakah latihan membaca yang intensif benar-benar mampu mengubah otak anak dengan disleksia?” Pertanyaan penting ini dijawab dengan sangat jelas oleh penelitian Barquero, Davis, dan Cutting pada tahun 2014. Mereka melakukan meta-analisis terhadap 14 studi menggunakan teknologi fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging) dan menemukan bukti konsisten bahwa intervensi membaca secara sistematis mampu “menyalakan kembali” area-area otak yang sebelumnya berfungsi kurang optimal pada anak dengan kesulitan belajar membaca.
Para peneliti melibatkan anak-anak dengan disleksia atau kesulitan membaca sebagai peserta. Mereka melakukan pemindaian otak fMRI sebelum dan sesudah intervensi membaca untuk melihat perubahan aktivitas otak. Intervensi yang diberikan dominan berfokus pada pelatihan fonologi, decoding, dan kelancaran membaca.
Hasil meta-analisis dari 14 studi yang berbeda itu menunjukkan suatu pola yang konsisten:
- Aktivitas di area temporo-parietal kiri meningkat secara signifikan setelah intervensi. Sebelumnya area ini relatif kurang aktif pada anak disleksia, tetapi pasca intervensi, aktivitasnya mulai mendekati pola anak-anak pembaca tipikal.
- Aktivitas juga meningkat di area occipito-temporal kiri, yang dikenal sebagai Visual Word Form Area (VWFA), sebuah area penting untuk pengenalan kata secara cepat dan otomatis. Anak-anak disleksia cenderung awalnya bergantung pada jalur otak lainnya yang lebih lambat, seperti jalur frontal, tapi setelah intervensi terjadi perpindahan ke jalur yang lebih otomatis ini.
- Efek peningkatan aktivitas ini ditemukan konsisten hampir di semua studi, sehingga bukan hasil kebetulan.
Pentingnya Temuan Ini
Temuan ini sangat penting karena membuktikan bahwa otak anak-anak dengan disleksia memiliki neuroplastisitas yaitu kemampuan untuk berubah dan beradaptasi melalui latihan yang terstruktur. Latihan fonologi dan membaca yang tepat tidak hanya memperbaiki skor tes membaca, tetapi juga membentuk kembali jalur-jalur di otak yang kurang aktif.
Hal ini memberikan legitimasi ilmiah yang kuat bagi program intervensi berbasis bukti dan menjadi dasar optimisme bahwa perjuangan anak-anak disleksia bisa dibantu secara nyata hingga tuntas.
Bayangkan jaringan listrik di otak anak. Pada anak dengan disleksia, sebagian jalur listrik di bagian kiri otak “mati” atau tidak menyala optimal, maka otak mencoba menggunakan jalur cadangan di sisi kanan yang lebih lambat dan kurang efisien. Latihan membaca intensif bagaikan menjaga dan memperbaiki jaringan listrik utama agar bisa berfungsi kembali normal dan lancar.
Sejumlah penelitian lain juga memperkuat temuan tentang kemampuan otak anak disleksia untuk berubah melalui latihan yang terarah. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Keller dan Just tahun 2009 menunjukkan bahwa setelah anak-anak dengan disleksia menjalani sekitar seratus jam latihan membaca intensif, terjadi perubahan yang luar biasa pada jalur saraf putih (white matter) di otak mereka. Jalur ini, yang menghubungkan area bahasa di otak kiri, menjadi lebih kuat dan efisien dalam mengantarkan informasi. Dengan kata lain, latihan membaca bukan hanya memperbaiki kemampuan mengenali huruf, tetapi juga memperkuat “kabel komunikasi” utama di dalam otak.
Temuan serupa dilaporkan oleh Sally dan Bennett Shaywitz bersama tim dari Yale University pada tahun 2002. Mereka menemukan bahwa anak-anak disleksia yang awalnya menunjukkan aktivitas otak yang rendah di area posterior kiri yaitu wilayah penting untuk mengenali bentuk kata dan menghubungkannya dengan bunyi ternyata dapat menunjukkan peningkatan signifikan setelah menjalani program intervensi membaca. Aktivasi otak mereka berangsur menyerupai pola pembaca tipikal, yang menandakan bahwa latihan membaca intensif dapat memulihkan fungsi jalur otak yang sebelumnya lemah.
Sementara itu, Barquero dan tim menegaskan bahwa pola aktivasi otak anak dengan disleksia sangat responsif terhadap latihan membaca. Melalui pencitraan otak (fMRI), mereka membuktikan bahwa aktivitas di area-area bahasa dapat berubah secara signifikan setelah intervensi yang fokus pada pelatihan fonologis. Hasil ini menegaskan satu hal penting yaitu otak bersifat plastis. Dengan latihan yang konsisten dan tepat sasaran, jalur otak yang awalnya lemah dapat diperkuat kembali, membuka peluang besar bagi anak-anak disleksia untuk mengembangkan kemampuan membaca yang lebih lancar dan bermakna.
Implikasi Praktis untuk Guru dan Orang Tua
- Intervensi harus sistematis dan intensif: Perubahan aktivitas otak tidak terjadi dengan pembelajaran seadanya. Program fonik yang konsisten dan terstruktur sangat diperlukan.
- Pemantauan progres penting: Guru dan terapis perlu menilai tidak hanya kemampuan membaca anak secara normatif, tetapi juga kecepatan dan pemahaman bacaan secara terukur.
- Optimisme untuk anak dan orang tua: Latihan membaca yang terarah bisa benar-benar mengubah otak, bukan sekadar menambah keterampilan sesaat.
Relevansi untuk Indonesia
Di Indonesia, masih banyak anggapan bahwa anak yang kesulitan membaca sulit mengalami perubahan signifikan. Penelitian ini memberikan motivasi kuat bahwa dengan intervensi yang tepat dan konsisten, fungsi otak dapat diperbaiki secara nyata.
Oleh karena itu, guru perlu berkomitmen pada program remedial yang terencana dan berkelanjutan, bukan hanya mengandalkan les singkat atau sekadar hafalan.
Penelitian Barquero dan tim membuka harapan baru bagi anak-anak dengan disleksia. Intervensi membaca bukan hanya soal menaikkan nilai tes, tetapi juga membentuk ulang jalur otak membaca mereka.
Bagi guru dan orang tua, ini adalah kabar gembira: Jangan pernah menyerah. Setiap sesi latihan membaca terarah adalah seperti menyalakan kembali jaringan listrik otak anak-anak kita, membuka pintu kesempatan untuk masa depan yang lebih cerah.

