Oleh Ranti Novianti
Dosen Pendidikan Khusus, Universitas Negeri Malang
Kontak: ranti.novianti@um.ac.id
Disleksia sering kali dianggap sebagai masalah yang hanya dialami oleh anak-anak berbahasa Inggris, karena banyak penelitian awal berasal dari negara-negara penutur bahasa Inggris. Namun, apakah anak-anak yang berbicara bahasa lain seperti Italia, Cina, atau Indonesia mengalami disleksia dengan cara yang sama? Sebuah penelitian penting oleh Yan dan tim pada tahun 2021 menjawab pertanyaan ini dengan melakukan meta-analisis neuroimaging lintas bahasa untuk menelusuri pola otak anak-anak disleksia dalam konteks berbagai sistem tulisan.
Penelitian ini melibatkan ratusan anak dari berbagai negara dan mengkaji hasil puluhan studi fMRI dan diffusion tensor imaging (DTI) pada anak-anak dengan disleksia yang belajar bahasa alfabet (Inggris, Italia, Spanyol) maupun bahasa logografis (Cina).
Hasil analisis menunjukkan temuan yang sangat menarik dan konsisten lintas budaya serta bahasa. Anak-anak dengan disleksia dari berbagai negara ternyata memperlihatkan pola aktivitas otak yang serupa, meskipun mereka belajar dalam bahasa yang berbeda. Melalui berbagai studi pencitraan otak, para peneliti menemukan bahwa anak disleksia secara umum mengalami penurunan aktivitas di jalur posterior kiri otak, terutama pada area occipito-temporal dan temporo-parietal. Kedua area ini memiliki peran penting dalam mengenali bentuk huruf, menghubungkan bunyi dengan simbol, dan mengotomatisasi proses membaca.
Temuan ini memberikan kesimpulan kuat bahwa akar neurobiologis disleksia bersifat universal. Artinya, meskipun tampilan atau gejalanya berbeda-beda di tiap bahasa, dasar perbedaannya tetap sama yaitu otak bagian kiri yang bertanggung jawab terhadap pengolahan bahasa dan simbol tertulis bekerja kurang efisien.
Namun, ekspresi atau “wajah” disleksia memang sangat bergantung pada karakter bahasa yang digunakan anak. Di bahasa Inggris, yang dikenal memiliki sistem tulisan tidak konsisten (atau deep orthography), anak-anak disleksia umumnya kesulitan membaca dengan akurat karena banyak kata yang ejaannya tidak sesuai dengan bunyinya. Sementara itu, di bahasa Italia, yang memiliki sistem tulisan lebih transparan (shallow orthography), anak-anak disleksia cenderung dapat membaca dengan cukup akurat, tetapi dengan kecepatan yang sangat lambat. Adapun di bahasa Cina, yang berbentuk logografis dimana setiap karakter mewakili makna dan bentuk visual yang kompleks maka tantangan utama anak disleksia terletak pada kesulitan mengingat dan mengenali pola karakter yang rumit.
Dari sisi struktur otak, penelitian menggunakan Diffusion Tensor Imaging (DTI) memperlihatkan adanya kelemahan pada jaringan serabut putih (white matter) di sisi kiri otak, khususnya pada arcuate fasciculus. Jalur saraf ini berfungsi sebagai “jembatan komunikasi” antara area bahasa dan area visual, yang memungkinkan otak membaca dengan lancar dan cepat. Menariknya, kelemahan pada jalur ini ditemukan konsisten di berbagai bahasa, menguatkan pandangan bahwa disleksia memiliki dasar neurologis yang sama di seluruh dunia hanya manifestasinya saja yang dipengaruhi oleh karakteristik sistem tulisan masing-masing bahasa.
Hasil temuan Yan dan tim menegaskan bahwa disleksia bukanlah “penyakit” atau masalah bahasa Inggris semata, melainkan masalah otak yang sangat universal, terkait dengan jalur fonologis yang kurang efisien di otak kiri. Meski begitu, ekspresi klinis dan tantangan yang dihadapi anak sangat dipengaruhi oleh karakteristik bahasa yang dipelajari.
Ini menjadi pengingat bagi guru dan orang tua agar tidak secara otomatis mengadopsi strategi intervensi dari satu bahasa tanpa mempertimbangkan karakter bahasa lainnya.
Implikasi Praktis untuk Pendidikan
- Strategi intervensi harus disesuaikan dengan karakter bahasa:
Bahasa Inggris mengharuskan pendekatan yang fleksibel antara latihan fonem, rima, dan suku kata. Bahasa yang ortografinya transparan seperti Italia dan Indonesia menuntut fokus pada peningkatan otomatisasi dan kelancaran membaca. Bahasa logografis seperti Cina membutuhkan pendekatan yang lebih visual dan penguatan memori bentuk karakter.
- Asesmen kesulitan membaca dan disleksia juga harus mempertimbangkan bahasa yang digunakan anak. Anak Indonesia, misalnya, bisa membaca dengan akurat tetapi lambat, sehingga masih mungkin mengalami disleksia berdasarkan kelancaran dan pemahaman baca.
- Terlepas dari perbedaan bahasa, intervensi berbasis fonologi tetap menjadi aspek penting karena semua bahasa membutuhkan kesadaran fonologis meskipun cara pengaplikasiannya berbeda.
Bukti Neurolinguistik
Yan dan tim juga menyoroti bahwa Visual Word Form Area (VWFA) di sisi kiri otak bagian occipito-temporal adalah pusat otak utama untuk mengenali kata secara visual dan universal ada pada semua bahasa. Pada anak-anak disleksia, area ini menunjukkan aktivitas yang melemah secara konsisten tanpa memandang bahasa yang digunakan. Artinya, meskipun bahasa berbeda, otak membaca memiliki pola kerja yang sama pada tingkat dasar, tetapi adaptasi kerjanya dipengaruhi oleh sifat bahasa masing-masing.
Relevansi untuk Pendidikan di Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa dengan ortografi yang sangat transparan, artinya hampir semua huruf mewakili bunyi yang sama secara konsisten. Oleh karena itu, anak-anak dengan disleksia di Indonesia seringkali dapat membaca kata-kata dengan benar (akurasi tinggi) tetapi mereka mengalami kesulitan dalam hal kelancaran membaca.
Sayangnya, masih banyak guru yang menganggap anak-anak yang bisa membaca dengan tepat berarti tidak disleksia. Padahal, kelambatan atau kesulitan dalam membaca lancar dan memahami isi bacaan juga merupakan bagian penting dari disleksia. Dengan memahami temuan Yan, guru di Indonesia bisa lebih cermat dalam mendiagnosis dan menyesuaikan dukungan untuk anak-anak yang mengalami kesulitan belajar membaca.
Yan memberikan pesan yang sangat kuat bahwa disleksia adalah kondisi universal, tetapi tampil dengan wajah berbeda sesuai bahasa dan sistem tulisan. Akar masalah yang mendasari tetap sama, yaitu kelemahan jalur fonologis pada otak kiri.
Untuk Indonesia, kabar baiknya adalah bahasa kita yang cukup transparan memberikan peluang besar bagi anak disleksia untuk tetap dapat membaca akurat dengan lebih mudah dibandingkan disleksia dengan bahasa lainnya. Tantangannya kini adalah bagaimana mendukung mereka agar bisa membaca lebih lancar dan memahami teks dengan baik.

