Oleh Ranti Novianti
Dosen Pendidikan Khusus, Universitas Negeri Malang
Kontak: ranti.novianti@um.ac.id
Proses belajar membaca tidaklah sama untuk setiap anak. Ada anak yang cepat menangkap dan melafalkan huruf-huruf hingga bisa membaca dengan lancar, ada pula yang mengalami kesulitan besar dan harus berjuang lebih keras. Di samping faktor individualitas, perbedaan ini juga sangat dipengaruhi oleh bahasa yang digunakan anak dalam belajar membaca. Mengapa demikian?
Salah satu teori yang sangat membuka wawasan saya sebagai seorang akademisi di bidang pendidikan khusus adalah Psycholinguistic Grain Size Theory (PGST) yang diusulkan oleh para peneliti Johannes Ziegler dan Usha Goswami pada tahun 2005. Teori ini menawarkan pemahaman mendalam mengenai bagaimana anak-anak menghubungkan simbol tulisan dan bunyi serta mengatasi kesulitan belajar membaca, terutama disleksia, yang berbeda dari satu bahasa ke bahasa lain.
Memahami Inti Teori
Secara sederhana, PGST menjelaskan bahwa ketika anak-anak belajar membaca, mereka tidak hanya fokus mengenali huruf demi huruf atau fonem (unit bunyi terkecil), tetapi juga mengandalkan seperti rima (bagian akhir kata dengan pola bunyi tertentu) dan suku kata (bagian kata yang lebih besar dari fonem).
Misalnya, dalam kata “jalan” dan “makan”, anak dapat belajar mengenali pola rima “-an” yang berulang. Selain itu, mereka juga menggunakan suku kata sebagai unit pembelajaran yang lebih besar seperti “ba”, “na”, atau “ta”. Bahasa dengan sistem tulisan yang sederhana dan konsisten dalam istilah ilmiahnya disebut ortografi yang transparan. Seperti bahasa Indonesia, memungkinkan anak belajar dengan lebih mudah menggunakan unit fonem.
Sebaliknya, pada bahasa Inggris yang memiliki aturan pengejaan lebih kompleks dan tidak konsisten (contohnya “ough” yang bisa dibunyikan dengan berbagai bunyi berbeda), anak-anak harus belajar menggunakan berbagai bunyi berbeda untuk bisa membaca dengan baik. Hal ini menjelaskan mengapa anak-anak dengan disleksia di Indonesia cenderung mengalami kesulitan yang berbeda dibandingkan dengan anak-anak di negara berbahasa Inggris.
Dari pengalaman saya, teori ini sangat relevan untuk menggambarkan realita dalam pendidikan khusus di Indonesia. Disleksia memang fenomena yang universal, namun manifestasinya sangat dipengaruhi oleh karakteristik bahasa dan tulisannya.
Implikasi untuk Pendidikan
Bagi dunia pendidikan, teori ini membawa pesan penting. Pertama, pondasi utama bagi pembelajaran membaca anak harus berada pada pembelajaran fonik yang sistematis dan eksplisit sejak tahap awal. Anak perlu diajar bagaimana hubungan antara huruf dan bunyi secara jelas dan berurutan.
Kedua, latihan pengenalan rima dan suku kata juga menjadi aspek penting agar anak dapat membaca dengan lebih lancar. Pembelajaran yang hanya berfokus pada huruf dan bunyi terkecil bisa menjadi kurang efektif bagi beberapa anak, terutama ketika mereka harus menghadapi kata-kata yang lebih kompleks.
Ketiga, penting untuk dicatat bahwa tidak semua anak dengan disleksia menunjukkan gejala sama. Anak-anak di Indonesia yang memiliki disleksia umumnya masih bisa membaca dengan akurat, meskipun mereka cenderung lebih lambat. Oleh sebab itu, orang tua dan guru tidak perlu terburu-buru memberikan tanda negatif atau kekhawatiran berlebihan hanya karena lambat membaca.
Keempat, guru perlu memiliki strategi pembelajaran yang fleksibel, yang tidak hanya mengenalkan bunyi huruf tapi juga mengajarkan pola-pola rima dan bagaimana membaca kata secara utuh. Fleksibilitas ini sangat membantu anak dalam mengembangkan kemampuan membaca secara natural dan efektif.
Catatan Ilmiah dan Praktis
Selama berpengalaman sebagai dosen dan konsultan di pendidikan khusus, saya mengamati pentingnya guru mendesain pembelajaran baca tulis yang selaras dengan karakteristik bahasa Indonesia yang relatif transparan. PGST memberikan dasar ilmiah yang kuat untuk pendekatan pengajaran berbasis “chunking” atau pemecahan kata menjadi unit-unit yang lebih besar, bukan hanya huruf demi huruf.
Pendekatan ini tidak hanya membantu anak memahami kata secara cepat dan akurat, tetapi juga mengurangi beban kerja memori yang dibutuhkan saat membaca kata yang panjang. Hal ini sangat vital bagi anak dengan hambatan fonologis seperti disleksia.
Selain itu, perkembangan neuroscience menunjukkan bahwa pada disleksia, jalur-jalur saraf di otak yang menghubungkan huruf dengan bunyi tidak berfungsi optimal. Ini adalah penjelasan ilmiah mengapa anak disleksia butuh pelatihan yang lebih eksplisit dan berulang-ulang agar otak dapat memetakan hubungan huruf dan bunyi secara efektif.
Saya melihat bahwa semakin sistematis proses pembelajaran membaca yang diberikan, semakin besar peluang anak untuk menguasainya, meskipun memiliki hambatan belajar.
Harapan dan Optimisme
Sebagai refleksi saya pribadi dalam dunia pendidikan khusus, teori Ziegler & Goswami ini membawa harapan baru. Bahasa Indonesia yang transparan memberikan penawaran yang positif bagi anak-anak dengan disleksia: mereka memiliki peluang besar untuk berhasil dengan metode pembelajaran yang tepat.
Maka, tidak perlu ada rasa putus asa bagi guru, orang tua, maupun anak-anak itu sendiri. Dengan instruksi membaca yang tepat, fleksibel, dan sesuai kebutuhan individu anak, kita dapat membantu membuka pintu literasi yang bermakna bagi semakin banyak anak di negeri ini.
Dalam kelompok anak berkebutuhan khusus, khususnya yang menghadapi tantangan disleksia, saya berharap teori ini dapat menjadi pondasi bagi pengembangan intervensi dan metode pengajaran yang lebih efektif dan manusiawi. Dengan saling mendukung dan berkolaborasi, kita mampu membawa perubahan positif dalam dunia pendidikan inklusif Indonesia.
Sejak tahun 2018, di Indonesia sudah mulai dikenalkan strategi pembelajaran membaca berbasis phonological awareness yang dikenal dengan sebutan Phonological Base Reading. Strategi ini menerapkan prinsip-prinsip yang selaras dengan teori-teori seperti Psycholinguistic Grain Size, yang menekankan pengenalan bunyi huruf, rima, dan suku kata secara sistematis sebagai pondasi membaca. Meski sudah diperkenalkan sejak beberapa tahun lalu, penerapan strategi ini di sekolah-sekolah masih belum merata. Salah satu kendalanya adalah banyak guru dan tenaga pendidik merasa kesulitan memahami secara lengkap cara mengajarkan Phonological Base Reading yang efektif dan sesuai kebutuhan anak.
Untuk mendukung implementasi strategi ini, pengembang pendidikan di Indonesia juga telah memperkenalkan media pembelajaran bernama Phonokit. Phonokit dirancang sebagai alat bantu interaktif yang memudahkan guru dan orang tua dalam melatih kemampuan fonologis anak secara praktis dan menyenangkan. Media ini membantu anak mengenali hubungan huruf dan bunyi secara berurutan, serta memfasilitasi latihan pola rima dan suku kata.
Dengan dukungan media dan pelatihan yang memadai, diharapkan semakin banyak sekolah dan tenaga pengajar di Indonesia yang mampu menerapkan strategi Phonological base Reading secara optimal. Hal ini sangat penting agar anak-anak, terutama mereka yang memiliki hambatan belajar seperti disleksia, bisa mendapatkan akses pendidikan membaca yang lebih efektif dan inklusif. Kunci utama dari keberhasilan pembelajaran membaca yang bermakna adalah pemahaman guru atas prinsip dasar fonologis serta penerapan metode yang sesuai dengan karakter bahasa dan kebutuhan anak di lapangan.

