Oleh Ranti Novianti
Dosen Pendidikan Khusus, Universitas Negeri Malang
Kontak: ranti.novianti@um.ac.id
Perdebatan tentang cara terbaik mengajarkan anak membaca sudah berlangsung selama puluhan tahun, terutama di Amerika Serikat. Dua pendekatan besar yang sering dibandingkan adalah pengajaran membaca melalui “mengenalkan kata secara utuh” (whole language) dan pengajaran yang menekankan “bunyi huruf secara sistematis” atau yang dikenal dengan phonics. Perdebatan ini membawa banyak kontroversi, sampai pada tahun 2000, National Reading Panel (NRP) yang dibentuk oleh pemerintah AS melakukan tinjauan dan analisis penelitian besar tentang metode pengajaran membaca.
Meta-analisis yang dipublikasikan oleh Ehri dan rekan-rekannya pada tahun 2001 menjadi tonggak penting dalam dunia pendidikan membaca. Hasilnya jelas: pengajaran phonics yang dilakukan secara sistematis jauh lebih efektif dibandingkan metode-metode yang tidak sistematis atau hanya mengandalkan konteks dan pengenalan kata secara utuh.
Apa Itu Phonics?
Phonics adalah metode pengajaran membaca yang mengajarkan anak bagaimana menghubungkan huruf atau kelompok huruf (grafem) dengan bunyinya (fonem). Contohnya, anak belajar bahwa huruf “b” berbunyi /b/, dan huruf “m” berbunyi /m/. Dengan penguasaan phonics, anak dapat “mendecode” kata baru yang belum pernah mereka temui sebelumnya secara mandiri.
Berbeda dengan pendekatan whole language yang menitikberatkan pada pengenalan kata secara utuh dari konteks, phonics mengajarkan aturan yang sistematis dan eksplisit tentang hubungan huruf dan bunyi yang menjadi pondasi kemampuan membaca.
Temuan Penting Meta-analisis National Reading Panel
Ehri dan tim melakukan analisis terhadap puluhan studi dengan ribuan peserta di berbagai jenjang pendidikan dan kondisi berbeda. Beberapa temuan yang sangat penting dari meta-analisis ini meliputi:
- Pengajaran phonics yang sistematis terbukti lebih unggul: Anak-anak yang diajari membaca dengan phonics sistematis menunjukkan kemajuan signifikan dalam kemampuan membaca kata, mengeja, dan memahami teks dibandingkan dengan anak-anak yang diajari dengan metode lain.
- Bermanfaat untuk semua kelompok anak: Termasuk anak-anak usia prasekolah, siswa awal sekolah dasar, anak-anak yang berisiko mengalami kesulitan membaca, dan bahkan anak-anak dengan kesulitan membaca.
- Efek jangka panjang: Anak yang mendapat dasar phonics yang kuat lebih siap menghadapi materi bacaan yang kompleks saat mereka naik ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
- Phonics bukanlah satu-satunya yang dibutuhkan: Meskipun phonics sangat penting, anak-anak juga perlu diajarkan kosakata, keterampilan memahami bacaan, dan kelancaran membaca untuk membangun literasi yang utuh.
Mengapa Phonics Penting?
Ehri dan timnya menegaskan bahwa membaca pada hakikatnya adalah kemampuan decoding: menghubungkan simbol tulisan dengan bunyi. Tanpa kemampuan ini, anak-anak hanya akan bisa menghafal kata-kata tertentu saja tanpa bisa membaca kata baru.
Misalnya, anak mungkin bisa menghafal kata “kucing”. Namun, ketika bertemu dengan kata “kucing” atau “kancing” yang serupa tapi tidak sama, tanpa phonics dia tidak bisa membacanya. Dengan phonics, anak diajarkan untuk memecah kata menjadi bunyi-bunyi kecil seperti /k/ – /u/ – /c/ – /i/ – /ng/, lalu menyusun bacaan secara otomatis.
Itulah sebabnya phonics adalah fondasi literasi. Setelah decoding ini dikuasai dan menjadi otomatis, anak bisa fokus mempelajari makna kata dan isi bacaan.
Kritik dan Perkembangan Selanjutnya
Walaupun phonics terbukti efektif, penggunaan phonics yang kaku dan semata-mata mengandalkan latihan mengenal bunyi tanpa konteks dapat membuat anak lancar membaca tapi kurang memahami isi bacaan.
Oleh sebab itu, guru dan orang tua harus memastikan phonics diajarkan sebagai bagian dari pendekatan literasi yang seimbang, yang juga mengajarkan pemahaman bacaan, kosakata, dan kelancaran membaca. Phonics harus digunakan dalam konteks teks yang bermakna, bukan hanya sebagai latihan mekanis belaka.
Relevansi Phonics untuk Indonesia
Bahasa Indonesia termasuk dalam kategori bahasa dengan ortografi yang cukup transparan, terutama pada aspek vokal yang umumnya mewakili bunyi dengan konsisten. Namun, untuk konsonan terdapat lebih banyak variasi bunyi yang tidak selalu konsisten satu-satu dengan hurufnya. Selain itu, bahasa Indonesia didominasi oleh kata-kata multisuku kata (multisyllable), sehingga pendekatan pembelajaran membaca yang paling sesuai adalah yang memberikan perhatian pada pengenalan dan pengolahan unit suku kata, bukan hanya fonem tunggal.
Karakteristik ini membuat pendekatan phonics yang sistematis tetap sangat relevan dan cocok untuk diterapkan di Indonesia, namun dengan penekanan pada pengenalan suku kata sebagai unit yang efektif. Dengan metode seperti ini, anak-anak lebih mudah memahami dan menguasai hubungan antara huruf, bunyi, dan pola suku kata, sekaligus lebih siap menghadapi kata-kata serapan dan kosakata yang lebih kompleks dalam teks akademik ataupun literatur.
Kaitan dengan Psiko-Neurolinguistik
Dari sudut pandang neurolinguistik, pelatihan phonics menstimulasi aktivitas otak khususnya pada jalur temporo-parietal kiri yang berperan penting dalam memetakan huruf ke bunyi. Meta-analisis menggunakan fMRI membuktikan bahwa intervensi phonics dapat menstimulasi aktivitas otak anak-anak dengan disleksia sehingga meningkatkan kemampuan membaca mereka.
Ini menunjukkan bahwa phonics bukan hanya sekadar strategi pengajaran, tetapi juga merupakan bentuk intervensi neurolinguistik yang dapat membantu memulihkan jalur membaca di otak anak-anak dengan kesulitan membaca.
Penutup Inspiratif
Ehri, melalui laporan National Reading Panel, telah memberi pesan yang sangat jelas dan kuat: phonics adalah fondasi wajib dalam literasi. Tanpa phonics, anak-anak kehilangan kunci utama untuk membuka pintu dunia kata dan membaca.
Namun, phonics bukan akhir dari segalanya. Ini adalah langkah pertama yang penting menuju kemampuan literasi yang utuh, yang juga membutuhkan pengembangan kosakata, kelancaran membaca, pemahaman bacaan, dan kemampuan menulis. Dengan dukungan riset neurolinguistik, kita menyadari bahwa mengajarkan phonics sama dengan membangun jalur otak membaca yang kokoh.
Bagi para guru di Indonesia, ini merupakan kesempatan emas. Dengan bahasa yang cukup transparan seperti bahasa Indonesia, penerapan phonics bisa menjadi jauh lebih efektif dan membawa anak-anak ke tingkat literasi yang lebih baik. Dengan pelaksanaan yang tepat dan seimbang, kita bisa membekali generasi muda dengan kemampuan membaca yang bukan hanya lancar tetapi juga cerdas dan bermakna.

