Oleh Ranti Novianti
Dosen Pendidikan Khusus, Universitas Negeri Malang
Kontak: ranti.novianti@um.ac.id
Sebagai pendidik dan orang tua, sering kali kita merasa lega ketika anak akhirnya bisa membaca. Namun, masalah lain yang tidak kalah penting muncul, yaitu anak bisa membaca tetap membacanya sangat lambat. Mereka mengeja kata satu per satu dengan benar, tapi ketika diminta membaca paragraf atau teks panjang, mereka cepat lelah, konsentrasi menurun, sehingga gagal memahami apa yang dibaca.
Fenomena ini menjadi fokus penting dalam artikel ulasan klasik oleh Elizabeth Norton dan Maryanne Wolf pada 2012, yang diterbitkan di Annual Review of Psychology. Mereka menegaskan bahwa Rapid Automatized Naming (RAN) adalah salah satu kunci utama untuk memahami mengapa sebagian anak meskipun sudah bisa membaca dengan tepat, tetapi membaca tetap lambat atau tersendat-sendat.
Apa Itu Rapid Automatized Naming (RAN)?
RAN adalah ukuran kecepatan anak dalam menyebutkan simbol sederhana secara berurutan: seperti huruf, angka, warna, atau objek. Pada anak yang membaca dengan lancar, hubungan antara simbol dan bunyi terjadi secara otomatis dan cepat.
Sebaliknya, pada anak dengan defisit RAN, proses ini tidak berjalan otomatis sehingga mereka butuh waktu lebih lama untuk menyebutkan setiap simbol, yang jika dijumlahkan pada seluruh kata dalam teks membuat proses membaca menjadi lambat sangat terasa.
Contohnya, anak dengan RAN yang baik begitu melihat huruf “d”, langsung menyebut /d/ dengan cepat dan otomatis. Anak dengan RAN lemah membutuhkan waktu ekstra hanya untuk satu huruf, namun ketika digabungkan, ini mengakibatkan lambatnya membaca teks panjang.
Temuan Norton & Wolf (2012)
Melalui tinjauan riset yang mendalam, Norton dan Wolf menyampaikan beberapa poin penting:
- RAN adalah prediktor yang sangat kuat dan universal untuk kelancaran membaca di berbagai bahasa, baik bahasa dengan ortografi kompleks (misalnya Inggris) maupun bahasa transparan (misalnya Spanyol, Finlandia).
- RAN berbeda dengan kesadaran fonologis atau phonological awareness (PA). PA berperan besar dalam akurasi membaca, sedangkan RAN menjelaskan aspek kelancaran dan otomatisasi membaca. Kedua faktor ini berdiri sendiri, namun saling melengkapi satu sama lain.
- Anak dengan defisit RAN biasanya bisa membaca dengan akurat, tetapi tidak otomatis sehingga terlihat “tersendat” dan kesulitan memahami teks bacaan yang panjang.
- Konsep Double Deficit Hypothesis tetap relevan, di mana anak dengan kelemahan kedua aspek (PA + RAN) termasuk kelompok paling rentan mengalami kesulitan literasi berat.
Mengapa Fluency Sangat Penting?
Fluency atau kelancaran membaca bukan sekadar soal membaca cepat. Fluency meliputi tiga komponen utama, yaitu: 1) Akurasi: Membaca kata dengan benar tanpa kesalahan; 2) Kecepatan: Menghubungkan simbol dan bunyi dengan cepat dan otomatis; 3) Prosodi: Membaca dengan intonasi, jeda, dan ekspresi yang sesuai makna kalimat.
Tanpa kelancaran, proses membaca menjadi sangat melelahkan. Anak harus menghabiskan banyak energi untuk melakukan decoding kata sehingga tidak ada cukup ruang kognitif untuk memahami isi teks. Norton & Wolf menyebut fenomena ini sebagai “bottleneck fluency” atau kemacetan jalur membaca yang menghambat pemahaman.
Bukti Neurolinguistik
Studi neuroimaging menunjukkan bahwa anak dengan defisit RAN mengalami keterlambatan aktivasi di wilayah occipito-temporal kiri, yang disebut Visual Word Form Area (VWFA). Area ini berperan penting dalam pengenalan kata secara cepat.
Keterlambatan aktivasi area ini menyebabkan anak tetap lambat membaca meskipun jalur phonological (bunyi huruf) bekerja dengan baik. Ini menguatkan bahwa RAN adalah cerminan efisiensi otak dalam pemrosesan visual-huruf ke pelafalan cepat.
Implikasi Praktis untuk Pendidikan
Norton dan Wolf menunjukkan bahwa tes RAN sederhana dapat digunakan sebagai alat skrining penting sejak dini, terutama bagi anak-anak di TK atau kelas 1 SD. Tes ini dapat berupa mengukur kecepatan menyebut huruf atau angka dalam format tabel.
Intervensi yang efektif memerlukan fokus pada peningkatan otomatisasi membaca, seperti:
- Repeated reading: Anak membaca teks yang sama berkali-kali sampai lancar dan cepat.
- Latihan prosodi: Membaca dengan tanda jeda agar intonasi sesuai makna.
- Timed drills: Latihan membaca cepat dalam batas waktu yang ditentukan.
Selain latihan kelancaran, anak juga harus diajarkan memahami makna bacaan agar membaca tidak menjadi mekanis.
Relevansi bagi Indonesia
Bahasa Indonesia secara fonik relatif mudah karena ortografinya transparan. Namun, aspek kelancaran seringkali kurang diperhatikan. Banyak anak dianggap “bisa membaca” ketika sudah bisa mengeja kata, padahal mereka sering lambat ketika harus membaca teks panjang.
Dengan memahami pentingnya RAN, guru dan tenaga pendidikan di Indonesia dapat mulai menekankan latihan kelancaran membaca, tidak hanya akurasi, agar anak-anak tidak sekadar membaca kata demi kata tetapi menjadi pembaca yang fasih dan memahami.
Norton & Wolf memberi pengingat berharga bahwa membaca bukan hanya tentang akurat, melainkan juga tentang otomatis dan lancar. Anak dengan defisit RAN biasanya terlihat baik-baik saja jika hanya diuji akurasinya, namun mereka tetap mengalami kesulitan membaca teks panjang dengan lancar dan mendapatkan maknanya.
Guru dan orang tua harus memahami bahwa kelancaran membaca adalah jembatan penting menuju pemahaman. Dengan latihan otomatisasi yang tepat dan sistematis, anak dapat melewati hambatan fluency dan mulai gemar membaca teks dengan percaya diri.

