Oleh Ranti Novianti
Dosen Pendidikan Khusus, Universitas Negeri Malang
Kontak: ranti.novianti@um.ac.id

Selama bertahun-tahun, anak-anak dengan kesulitan membaca sering disalahpahami dan dicap malas, kurang pintar, atau tidak mau berusaha. Padahal, hasil penelitian terbaru di bidang neurolinguistik memberikan gambaran yang berbeda. Kesulitan membaca pada anak disleksia bukanlah masalah kemauan atau kemampuan intelektual, melainkan berkaitan dengan perbedaan nyata pada struktur dan fungsi otak mereka.
Salah satu penelitian paling penting dan berpengaruh dalam bidang ini dilakukan oleh Sally dan Bennett Shaywitz bersama timnya dari Yale University pada tahun 2002. Dengan menggunakan teknologi pencitraan otak bernama functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI), mereka menemukan pola aktivasi otak yang berbeda secara signifikan antara anak-anak normal dan anak dengan disleksia saat melakukan tugas membaca.
Temuan Utama Shaywitz
Penelitian Shaywitz dan tim membandingkan aktivitas otak anak pembaca tipikal dan anak disleksia ketika mereka membaca. Hasilnya menunjukkan:
- Underaktivasi di jalur posterior kiri otak. Bagian otak yang terletak di area occipito-temporal (dikenal sebagai Visual Word Form Area atau VWFA) dan area temporo-parietal kiri menunjukkan aktivitas yang rendah pada anak-anak disleksia. Jalur ini sangat penting untuk memetakan huruf ke bunyi secara cepat dan otomatis. Rendahnya aktivitas berarti proses ini terganggu.
- Hiperaktivasi kompensatori di area frontal inferior otak kanan. Anak-anak dengan disleksia menggunakan area frontal inferior kanan dengan lebih banyak usaha sebagai kompensasi. Jalur otak ini ternyata lambat dan tidak seefisien jalur posterior kiri, sehingga membaca menjadi sangat melelahkan dan berat bagi anak-anak tersebut.
- Masalah ini tidak berkaitan dengan tingkat kecerdasan. Anak dengan disleksia umumnya memiliki IQ normal atau bahkan di atas rata-rata. Kesulitan hanya muncul saat mereka berhadapan dengan simbol huruf dan membaca.
Mengapa Temuan Ini Penting?
Sebelum temuan ini, masyarakat dan bahkan beberapa pendidik seringkali menyalahkan anak disleksia sebagai anak yang tidak mau berusaha atau malas belajar. Temuan Shaywitz secara meyakinkan membuktikan bahwa disleksia adalah kondisi neurobiologis yang nyata, bukan masalah sikap atau kemauan. Dengan kata lain, anak dengan disleksia bukanlah anak yang malas, tetapi otaknya memproses bahasa secara berbeda yang berdampak pada kemampuan membaca mereka.
Konsep “Otak Membaca”
Menurut ahli neurosains seperti Stanislas Dehaene, otak tidak dilahirkan khusus untuk membaca. Membaca adalah keterampilan budaya yang relatif baru yang “meminjam” jalur otak yang awalnya digunakan untuk pemrosesan visual dan bahasa. Pada pembaca umumnya, jalur posterior kiri otak tersebut menjadi pusat aktivitas yang otomatis dan cepat dalam mengenali kata dan huruf. Namun pada anak disleksia, jalur tersebut tidak aktif sebagaimana mestinya, sehingga proses pengenalan huruf dan kata tersendat dan memerlukan usaha ekstra.
Bukti Lanjutan dari Penelitian Lain
Temuan ini semakin diperkuat oleh sejumlah penelitian lanjutan yang menunjukkan bagaimana otak anak dengan disleksia dapat berubah melalui latihan yang tepat. Penelitian yang dilakukan oleh Barquero dan rekan-rekannya tahun 2014 menemukan bahwa intervensi yang berfokus pada latihan fonologis, yaitu kemampuan mengenali dan memanipulasi bunyi dalam kata dapat meningkatkan aktivitas di jalur posterior kiri otak. Jalur ini biasanya terganggu pada anak dengan disleksia dan berperan penting dalam menghubungkan suara dengan simbol huruf saat membaca. Dengan kata lain, latihan fonologis mampu “menghidupkan kembali” area otak yang semula tidak aktif optimal.
Hasil serupa dilaporkan oleh Keller dan Just tahun 2009. Setelah anak-anak dengan disleksia menjalani sekitar seratus jam latihan remedial membaca, terjadi peningkatan nyata pada integritas white matter di jalur arcuate fasciculus, yaitu jaringan saraf yang menghubungkan area bahasa dan visual dalam otak. Perubahan ini menunjukkan bahwa otak anak disleksia memiliki sifat plastis, yaitu kemampuan untuk beradaptasi dan memperbaiki diri melalui latihan intensif. Temuan ini menjadi bukti kuat bahwa kesulitan membaca bukanlah hambatan permanen, melainkan tantangan yang bisa diatasi dengan pendekatan berbasis neurosains yang tepat.
Implikasi Praktis untuk Pendidikan
- Hilangkan stigma “malas”. Anak disleksia adalah pejuang keras, bukan penunduk malas. Mereka memerlukan pengertian dan dukungan lebih.
- Intervensi dini sangat penting. Semakin cepat anak mendapatkan pelatihan fonik dan kesadaran fonologis, semakin besar kesempatan jalur otak membaca yang terganggu bisa distimulasi.
- Fokus pada fonologi dan kelancaran membaca (fluency). Latihan harus menargetkan decoding (phonics) dan otomatisasi membaca lewat strategi seperti Rapid Automatized Naming (RAN) dan repeated reading.
- Gunakan teknologi serta pendekatan multisensori. Media pembelajaran visual, kinestetik, dan digital sangat membantu anak dengan kesulitan membaca.
Relevansi untuk Indonesia
Di Indonesia, banyak anak dengan disleksia masih disalahpahami dan mendapat perlakuan yang kurang adil, seperti disuruh mengulang kelas berulang kali atau dianggap “bodoh”. Padahal, dengan pendekatan berbasis bukti ilmiah ini, kita bisa mengubah paradigma pendidikan. Disleksia bukanlah hambatan permanen, melainkan sebuah tantangan neurobiologis yang bisa diatasi dengan pendekatan intervensi tepat dan dukungan yang tepat.
Shaywitz dan tim tahun 2002 telah membuktikan secara jelas bahwa disleksia berhubungan dengan perbedaan nyata pada otak membaca. Anak dengan disleksia bukan malas atau kurang pintar, melainkan memiliki jalur otak membaca yang berbeda dan perlu pendekatan khusus.
Kabar baiknya otak itu plastis. Dengan intervensi yang sesuai dan latihan intensif, jalur otak yang lemah dapat diperkuat hingga anak mampu membaca, memahami, dan bahkan mencintai aktivitas membaca seperti anak-anak pada umumnya.
Pesan bagi guru dan orang tua sangat jelas, yaitu berhenti menyalahkan anak. Mulailah memberi dukungan dengan metode yang tepat. Bersama kita bisa membuka dunia bacaan untuk semua anak, termasuk yang berjuang melalui disleksia.

